Geografi Lingkungan- Dampak Covid-19 Terhadap Limbah Medis
Penulis: Andi Maulana/Mahasiswa Pendidikan Geografi UNJ
Pandemi covid-19 telah membawa dampak yang cukup besar
terhadap kehidupan manusia. Salah satu dampak tersebut ialah terhadap keadaan
lingkungan. Meskipun jumlah emisi dan polusi di kota-kota besar berkurang
akibat penerapan PSBB, namun ancaman pencemaran tidak serta merta hilang.
Ancaman tersebut adalah adanya sampah atau limbah dari aktivitas manusia
terhadap virus ini (Haryono,Agus). Satu aspek penting yang tidak boleh
dilupakan dalam penangan wabah ini adalah penanganan limbah medis dengan
karakter infeksius, yang dihasilkan dari pasien dan petugas medis yang terpapar
dengan virus tersebut saat penanganan pasien. Penanganan limbah infeksius ini
menjadi penting karena dikhawatirkan limbah ini bisa menjadi salah satu media
penyebaran virus apabila tidak ditangani dengan baik. Terlebih lagi, dengan
adanya wabah ini, volume timbulan limbah medis meningkat cukup signifikan
(Deni,M Chandra).
Berdasarkan data dari Kementerian Ekologi dan
Lingkungan China, hingga 21 Maret 2020, terjadi penambahan limbah medis dari
4.902,8 ton per hari menjadi 6.066 ton per hari. Kemudian data dari RSPI
Sulianto Suroso menunjukkan adanya kenaikan timbulan limbah medis dan alat
pelindung diri (APD) yang dimusnahkan oleh insinerator. Pada Januari 2020,
jumlah timbulan adalah 2.750 kg, meningkat menjadi 4.500 kg pada bulan Maret
2020, seiring dengan peningkatan pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit
tersebut. Peningkatan jumlah timbulan limbah medis ini tentu perlu dikelola
secara serius oleh pemerintah terkait. Sebab, jika tidak dikelola dengan baik
dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi pasien, petugas, dan
lingkungan masyarakat sekitar.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah melalui
kementrian lingkungan hidup dan kehutanan telah mengeluarkan surat edaran No.
SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 mengenai pengelolaan limbah infeksius termasuk
limbah dari penanganan pasien Covid-19 di fasilitas kesehatan. Menurut surat
yang ditandatangani Menteri lingkungan hidup dan kehutanan Siti Nurbaya pada 24
maret 2020 tersebut, limbah medis infeksius perlu dikelola sebagai limbah B3
sekaligus untuk mengendalikan dan memutus penularan Covid-19. Berdasarkan
ketentuan fasilitas pelayanan kesehatan, penanganan limbah infeksius dalam
kemasan harus tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan, Kemudian, limbah
tersebut harus dibakar dengan insinerator dengan suhu minimal 800 derajat
celcius dan diolah menggunakan autoclave yang dilengkapi dengan pencacah.
Residu hasil pengolahan tersebut harus dikemas dalam kontainer khusus dengan simbol
beracun sebelum diserahkan kepada pengelola limbah B3 (Violleta,Prisca).
Meski pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai
penanganan limbah medis, namun belum semua fasilitas pelayanan kesehatan di
indonesia memiliki insinerator yang memadai untuk menangani limbah infeksius. Direktur
Kesehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan menyarankan agar terjalinya kerja
sama antar fasilitas layanan kesehatan yang sudah memiliki insinerator dan yang
belum memiliki. Namun, penggunaan insinerator bukanlah satu-satunya solusi yang
ada. Penggunaan insinerator secara berlebih dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan. Selain penggunaan insinerator, dalam penanganan limbah medis ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan autoclave dan mencacah limbah sebelum diolah di
tempat pengolahan limbah khusus B3 (Violleta,Prisca).
Cie
BalasHapusSiapa ini?
Hapus